Thursday 13 March 2025
logo

Menganalisis Potensi Gugatan terhadap Pers atas Berita yang Merugikan

Author by Identitas | Post on Januari 30, 2025 | Category Utama

Menganalisis Potensi Gugatan terhadap Pers atas Berita yang Merugikan

Menuntut pers atas berita yang merugikan dimungkinkan secara hukum. Namun, prosesnya tidaklah sederhana dan membutuhkan pemahaman yang baik tentang mekanisme hukum yang berlaku. Kebebasan pers harus dihormati, tetapi pada saat yang sama, pers juga harus bertanggung jawab atas setiap pemberitaan yang disampaikan kepada publik.

Fernandes Raja Saor

 
Bacaan 4 Menit

Fernandes Raja Saor. Foto: Istimewa

Media memiliki peran krusial dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat dan menjadi salah satu pilar penting dalam mendukung keberlangsungan demokrasi. Melalui pemberitaan, media berfungsi sebagai sarana untuk menyuarakan kepentingan publik, memberikan edukasi, serta mengawasi jalannya pemerintahan dan institusi lainnya. Namun, di balik peran penting ini, tidak jarang pemberitaan yang disampaikan justru menimbulkan kerugian bagi individu atau badan hukum tertentu.

Ketika pemberitaan dianggap tidak akurat, melanggar privasi, atau bahkan merusak reputasi, muncul pertanyaan penting, apakah seseorang atau badan hukum memiliki hak untuk menuntut pers atas pemberitaan yang dianggap merugikan? Pertanyaan ini tidak hanya berkaitan dengan batasan kebebasan pers, tetapi juga menyangkut tanggung jawab dan profesionalisme media dalam menjalankan tugasnya. Hal ini memunculkan diskusi mengenai mekanisme hukum yang tersedia untuk mengatasi pemberitaan yang dinilai merugikan baik melalui Dewan Pers maupun jalur hukum lainnya.

Baca Juga:
Kolaborasi Praktisi dan Ilmuwan Hukum pada Peradilan Belanda
Perlindungan Advokat Terhadap Delik Contempt Of Court

Kebebasan pers dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang memberi hak kepada pers untuk menyampaikan informasi kepada publik. Namun, kebebasan ini terbatas oleh kewajiban untuk mematuhi kode etik jurnalistik dan hukum yang berlaku.

Pemberitaan yang merugikan bisa berupa pencemaran nama baik atau berita bohong. Pencemaran nama baik terjadi ketika reputasi seseorang dirusak dengan informasi yang salah/keliru. Sedangkan berita bohong sengaja disebarkanluaskan untuk menipu atau menyesatkan pandangan publik.

Mekanisme Hukum 
Jika merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, terdapat beberapa mekanisme hukum yang bisa ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan, seperti Hak Jawab, Hak Koreksi, dan pengaduan ke Dewan Pers. 

Hak Jawab memberi wewenang kepada individu atau kelompok untuk menyampaikan respons atau penyangkalan terhadap pemberitaan yang merugikan nama baiknya. UU Pers mengatur media untuk menyiarkan hak jawab tersebut secara proporsional di tempat yang sama. Hak Koreksi memungkinkan individu untuk mengoreksi kesalahan informasi yang disampaikan media, dan media wajib mempublikasikan koreksi tersebut.

Jika hak jawab dan hak koreksi tidak memberikan hasil yang memuaskan, pihak yang merasa dirugikan memiliki opsi lain yaitu mengajukan pengaduan ke Dewan Pers. Proses ini merupakan langkah formal untuk meminta penilaian dan rekomendasi terkait pemberitaan yang dianggap merugikan. Dewan Pers akan menilai apakah pemberitaan tersebut melanggar kode etik jurnalistik atau tidak. 

Setelah penilaian, Dewan Pers akan mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang berisi saran penyelesaian, seperti permintaan klarifikasi, permintaan maaf dari media, atau tindakan lain yang dianggap perlu. Pengaduan ke Dewan Pers menjadi mekanisme penting untuk memastikan media tetap bertanggung jawab dan profesional, serta memberikan perlindungan bagi pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan. 

Tuntutan Pidana
Selain jalur perdata, kasus delik pers juga dapat diselesaikan melalui jalur pidana. Namun, sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli, pengadilan dianjurkan meminta keterangan ahli dari Dewan Pers untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh terkait teori dan praktik jurnalistik.

Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 646 K/Pid.Sus/2019. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung membebaskan seorang narasumber berita yang didakwa atas penghinaan atau pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE. Mahkamah Agung berpendapat bahwa pernyataan narasumber yang disiarkan oleh media elektronik tidak dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong. Hal ini disebabkan karena pernyataan tersebut telah diolah menjadi berita oleh media dan dianggap sebagai produk jurnalistik yang tunduk pada mekanisme UU Pers.

Media online tunduk pada UU ITE sebagai penyelenggara sistem elektronik. Namun, produk jurnalistiknya diatur oleh UU Pers, sehingga pasal-pasal UU ITE tidak berlaku. Jika ada kasus terkait pers, Dewan Pers harus dilibatkan untuk menilai apakah ada unsur pelanggaran kode etik jurnalistik? 

Nota Kesepahaman 
Untuk memastikan penegakan hukum yang adil terkait kegiatan jurnalistik, Dewan Pers telah membuat nota kesepahaman dengan Polri dan Kejaksaan Agung. Nota kesepahaman ini menegaskan bahwa laporan pidana ke kepolisian atas produk pers akan diarahkan untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui Dewan Pers. Hal ini menunjukkan komitmen untuk mengutamakan mekanisme penyelesaian di Dewan Pers sebelum membawa kasus ke ranah hukum pidana.

Kebebasan pers adalah hak fundamental dalam demokrasi yang mendukung transparansi dan akuntabilitas. Namun, kebebasan ini tidak dapat dijalankan tanpa tanggung jawab. Dalam setiap pemberitaannya, pers harus menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kepentingan publik. Kode etik jurnalistik menjadi pedoman utama yang harus dipatuhi oleh setiap jurnalis untuk memastikan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya.

Verifikasi
Untuk menghindari pemberitaan yang merugikan, langkah utama yang dapat dilakukan adalah memverifikasi kebenaran informasi sebelum menyampaikan pernyataan kepada media. Verifikasi ini mencakup pengecekan sumber, kredibilitas, dan fakta yang ada. Jika pemberitaan merugikan sudah terjadi, segera lakukan klarifikasi dengan media terkait melalui hak jawab atau hak koreksi sesuai ketentuan UU Pers. Langkah ini membantu memperbaiki kesalahan informasi secara cepat. Jika kerugian dianggap serius, konsultasi dengan ahli hukum menjadi penting untuk menentukan langkah hukum yang sesuai baik melalui Dewan Pers maupun jalur perdata atau pidana.

Penutup
Menuntut pers atas berita yang merugikan memang dimungkinkan secara hukum. Namun, prosesnya tidaklah sederhana dan membutuhkan pemahaman yang baik tentang mekanisme hukum yang berlaku. Kebebasan pers harus dihormati, tetapi pada saat yang sama, pers juga harus bertanggung jawab atas setiap pemberitaan yang disampaikan kepada publik. Dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing baik pihak yang merasa dirugikan maupun pers itu sendiri dapat menjalankan perannya dalam masyarakat dengan lebih baik dan adil. 

Dengan adanya perlindungan hukum yang jelas, diharapkan setiap pihak dapat merasa lebih aman dan terlindungi dari pemberitaan yang tidak bertanggung jawab. Namun, yang terpenting adalah mendorong praktik jurnalistik yang lebih profesional dan beretika, sehingga pers dapat terus menjalankan fungsi kontrol sosialnya tanpa harus menimbulkan kerugian bagi pihak lain.

 

*) Fernandes Raja Saor, S.H., M.H., Managing Partner Kantor Hukum Fernandes Partnership

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Sumber ; https://www.hukumonline.com

RELATED POSTS