Friday 14 March 2025
logo

Hak Nelayan di Pesisir Diakui Hukum, Rentan di Lapangan

Author by Identitas | Post on Februari 7, 2025 | Category Uncategorized

Kerap kali hak nelayan terancam oleh praktik coastal and marine grabbing, yaitu penyerobotan lahan dan sumber daya pesisir oleh pihak luar yang tidak berasal dari komunitas lokal.

Willa Wahyuni

 
Bacaan 3 Menit

Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Maria S.W. Sumardjono (kiri atas) dan Peneliti BRIN, Dedi Supriadi Adhuri saat menjadi pembicara dalam diskusi daring, Kamis (6/2/2025). Foto: Tangkapan youtube

Peraturan perundang-undangan pertanahan dan tata ruang memberikan kewenangan untuk memberikan hak atas tanah di perairan pesisir. Terkait dengan itu, terdapat dua ketentuan yang penting. Yakni hak atas tanah dapat diberikan pada bagian darat wilayah pesisir dan bagian perairannya jika ada penggunaan tanah di bawah air. 

Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Maria S.W. Sumardjono mengatakan, objek hak atas tanah di perairan pesisir hanya bidang tanah, tidak termasuk sumber daya alam yang terdapat didalam air seperti ikan. 

Pemberian hak atas tanah harus mempertimbangkan daya dukung ekosistem pesisir yang salah satunya diaplikasikan dengan penerapan prinsip 3R (Right, Responsibility, Rectriction). Prinsip ini tidak hanya dipertimbangkan dalam rangka pemberian hak atas tanah, tetapi pula dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan, serta penggunaan tanahnya.

“Hak atas tanah yang sudah diterbitkan termasuk di perairan pesisir, dapat dibatalkan apabila pemberiannya melanggar tata cara atas bidang-bidang tanah yang terdapat di perairan pesisir. Sebagian diberikan kepada masyarakat pesisir atau nelayan dengan hak milik, hak guna bangunan, dan hak pakai,” ujar Prof Maria dalam Diskusi Publik Polemik Pemberian Hak Atas Tanah di Perairan Pesisir, Kamis (6/2/2025).

Baca juga:

Sejumlah daerah di Indonesia, masyarakat pesisir sudah melangsungkan sistem penguasaan berbasis aturan lokal atau adat untuk pemanfaatan dan penggunaan sumber daya pesisir laut. Sistem tersebut mengenal dua kategori hak, yaitu hak makan dan hak milik.

Penggunaan instrumen hak atau izin dalam pengaturan pemanfaatan perairan pesisir tidak berkaitan dengan potensi ancaman terhadap ekosistem pesisir. Hal ini karena hak dan izin memiliki objek yang berbeda. Kemudian, instrumen hak dan izin sama-sama mengenakan ketentuan larangan.

Serta kewajiban menjamin pengelolaan yang lestari dan perlindungan kepada masyarakat lokal, tradisional, dan masyarakat hukum adat. Meskipun hak dan izin dirancang untuk menjamin pengelolaan yang lestari serta melindungi masyarakat pesisir, praktiknya hak tenurial nelayan kecil dan komunitas pesisir masih menghadapi berbagai tantangan.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Supriadi Adhuri menyoroti lemahnya perlindungan hak-hak ini dalam praktik. Seperti dalam kasus pemasangan pagar laut di pesisir utara Tangerang.  Hak atas ruang hidup di wilayah pesisir tidak hanya mencakup satu jenis hak semata.

Tetapi beragam bentuk, termasuk hak kelola dan akses terhadap sumber daya laut. Secara hukum, UU telah mengakui keberadaan masyarakat pesisir dalam berbagai terminologi seperti masyarakat lokal dan masyarakat tradisional.  Realita di lapangan, hak-hak tersebut acapkali dikalahkan oleh praktik yang didukung oleh negara. 

Ia menekankan, kendati regulasi mengakui hak tenurial nelayan, dalam praktiknya hak tersebut masih lemah. Malahan kerapkali tunduk pada aturan lain yang lebih dominan.  

“Jika melihat kasus pagar laut di Tangerang, hak nelayan seolah dikalahkan oleh de facto, meskipun ada indikasi pelanggaran hukum dalam proyek tersebut,” ujarnya. 

Padahal, nelayan kecil memiliki peran vital dalam sektor perikanan nasional. Lebih dari 90 persen kapal laut di Indonesia dioperasikan oleh nelayan kecil. Begitu pula 85 persen hasil tangkapan nelayan kecil diperuntukkan bagi konsumsi domestik. 

“Mereka adalah pihak yang menjaga laut serta memastikan ikan sampai ke meja makan masyarakat Indonesia,” jelasnya.  

Menurutnya, nelayan memiliki hak kelola terhadap wilayah tangkap mereka. Jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan, sektor pesisir tidak hanya memberikan manfaat bagi nelayan dan komunitas pesisir, tetapi juga bagi bangsa secara keseluruhan.  

Namun, hak-hak tersebut seringkali terancam oleh praktik coastal and marine grabbing. Yakni penyerobotan lahan dan sumber daya pesisir oleh pihak luar yang tidak berasal dari komunitas lokal. Bentuk-bentuk coastal grabbing yang marak terjadi di Indonesia antara lain proyek reklamasi, pembangunan pagar laut seperti di pesisir utara Tangerang.

Kemudian ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah pesisir, serta proyek konservasi yang mengesampingkan hak komunitas. Praktik tambang laut (marine mining) yang didukung oleh pemerintah juga turut berkontribusi pada marginalisasi dan penghapusan hak-hak nelayan dan komunitas pesisir.  

Dedi membeberkan ancaman terhadap tenure nelayan dan komunitas pesisir dapat membawa dampak besar. Tak hanya bagi kelompok tersebut, tetapi juga bagi ketahanan pangan nasional serta upaya mitigasi perubahan iklim. Coastal grabbing tidak hanya menghilangkan akses nelayan terhadap sumber daya laut, tetapi juga mengancam kesejahteraan sosial-ekologis dan tata kelola pesisir yang adil.  

“Jika komunitas memiliki kontrol terhadap pesisirnya, mereka akan lebih terdorong untuk melindungi wilayahnya dari dampak perubahan iklim,” katanya. 

Oleh karena itu, pentingnya memperkuat pengakuan hukum atas hak-hak nelayan, baik yang sudah diakui secara turun-temurun maupun yang diberikan oleh pemerintah. Perlindungan ini tidak hanya harus diperkuat dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus diimplementasikan secara efektif di lapangan. 

“Kita harus memastikan ada mekanisme yang jelas untuk melindungi nelayan dan komunitas pesisir dari ancaman kehilangan hak mereka,” tegasnya.

Sumber:  https://www.hukumonline.com/berita/a/hak-nelayan-di-pesisir-diakui-hukum–rentan-di-lapangan-lt67a5076a7cef6/?page=all

RELATED POSTS