
Perusahaan diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan dalam penerapan bisnis dan HAM. Tahun depan pemerintah mulai menerapkan kewajiban audit dan penjatuhan sanksi.

Menteri HAM Natalius Pigai, didampingi sejumlah pejabat, mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XIII DPR, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/2/2025). Rapat tersebut membahas masalah kebijakan strategis Kementerian HAM di antaranya Pemberian Amnesti, Perlindungan HAM terhadap WNI dan Pekerja migran di dalam dan luar negri, Dampak penetapan PSN terhadap HAM masyarakat sekitar, Rencana kerja dan Anggaran 2025 serta juga membicarakan masalah dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada proyek Pagar Laut dan Proyek Rempang Provinsi Riau.
Foto : Tedy Kroen/Rakyat Merdeka/RM.ID
Konstitusi memandatkan pemerintah melakukan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM. Berbagai regulasi telah diterbitkan untuk mewujudkan amanat konstitusi itu. Seperti Peraturan Presiden No.60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Peraturan Menteri dan HAM No.13 Tahun 2024 tentang Tata Kerja Gugus Tugas Nasional dan Gugus Tugas Daerah Bisnis dan HAM.
Menteri HAM, Natalius Pigai, menjelaskan Strategi Nasional (Stranas) Bisnis dan HAM merupakan amanat PBB. Kebijakan itu memberi kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan audit kepada perusahaan berskala besar nasional, internasional dan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Tentu saja audit itu berkaitan dengan kegiatan bisnis yang dilakukan perusahaan apakah selaras dengan prinsip-prinsip HAM.
Tak sekedar audit, Pigai juga menargetkan pengenaan sanksi. Dia memberikan contoh ketika perusahaan berkonflik di suatu wilayah, Kementerian HAM akan menanganinya secara kasuistik. Upaya itu dilakukan untuk meminimalkan dampak buruk terhadap perusahaan yang bersangkutan. Sebab tren global saat ini menyoroti isu HAM terhadap entitas bisnis. Jika tersangkut masalah HAM, saham perusahaan berpotensi jeblok.
“Misalkan warga dikriminalisasi, kami menangani yang sifatnya kasus, tidak menangani kasus perusahaan secara menyeluruh dan utuh. Kalau kami menangani kasus atau evaluasi perusahaan secara utuh itu nanti bisa membahayakan dan merugikan perusahaan,” kata Pigai dalam rapat kerja dengan Komisi XIII DPR di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (5/2/2025).
Baca juga:
- Pelaku Usaha Wajib Baca, Begini Mandat Perpres Stranas Bisnis dan HAM
- Perpres Stranas Bisnis dan HAM Butuh Harmonisasi Aturan Pelaksana
Suasana rapat kerja dengan Komisi XIII DPR, Pigai didampingi para jajarannya di Komplek Gedung Parlemen. Foto: ADY
Pigai berjanji bakal menjalankan kewenangan secara hati-hati, tidak gegabah terutama dalam melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perusahaan. Evaluasi ini dalam konteks pembangunan HAM yakni relasi antara HAM dan bisnis. Evaluasi terhadap perusahaan itu akan dilakukan secara rutin. Bahkan dari proses penilaian itu, bagi perusahaan yang mendapat nilai terbaik berpeluang menempati posisi teratas dalam bursa saham di tingkat internasional.
“Penilaian terhadap pelaku usaha, tahun ini saya beri kesempatan semua perusahaan di Indonesia untuk memperbaiki diri, silakan meminta masukan untuk memperbaiki perusahaan agar perusahaan dikelola berbasis HAM,” ujarnya.
Untuk melakukan asesmen Pigai mengingatkan perusahaan bisa memanfaatkan aplikasi Penilaian Risiko Bisnis dan HAM (Prisma) secara sukarela. Rencananya mulai tahun depan penilaian itu tak lagi bersifat sukarela, tapi wajib bagi perusahaan. Begitu pula dengan pengenaan sanksi. Untuk menghindari sanksi, mulai sekarang perusahaan harus melakukan perbaikan, caranya antara lain bisa berkonsultasi dengan akademisi, ahli, dan organisasi masyarakat sipil yang fokus membidangi HAM.
Lebih mantan komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 itu menyebut program kerja yang bakal dilakukan Kementerian HAM yakni pendidikan dalam rangka pengarusutamaan HAM. Beberapa langkah yang akan dilakukan seperti mengubah pola pikir instansi pemerintah, swasta dan masyarakat. Misalnya, HAM menjadi ingatan yang melekat di kalangan aparat hukum dalam melakukan kerja-kerja rutin setiap hari. Kemudian pejabat publik dan aparat menyuarakan tentang HAM. Terakhir, semua regulasi yang terbit harus berbasis HAM.
Selain itu Pigai minta masukan dari Komisi XIII DPR terhadap rencana penyusunan indeks HAM dan Aksi Nasional HAM. Misalnya, semua hak-hak dasar masyarakat sudah difasilitasi dengan baik oleh pemerintah seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Mungkin anggota Komisi XIII melihat ada aspek HAM yang belum jadi perhatian pemerintah, yang berdampak besar mempengaruhi dinamika bangsa dan negara.
Anggota Komisi XIII, Samsul Bahri Tiyong, mengingatkan tugas Menteri HAM adalah memimpin dan mengkoordinasi urusan pemerintah di bidang HAM. Penting diingat, persoalan HAM tak melulu membahas peristiwa yang terjadi saat ini atau proyeksi ke depan, tapi juga masa lalu.
Ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui pemerintah, dan penyelesaiannya akan dilakukan dengan mekanisme non yudisial. Hak itu sebagaimana diatur Keputusan Presiden No.17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu. Pemerintah secara resmi menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat dan berjanji menyelesaikan secara non yudisial. Tapi sampai sekarang belum ada realisasinya.
“Ini pelanggaran HAM yang diakui pemerintah tapi tidak ada tindak lanjutnya, apalagi kasus pelanggaran HAM lain yang dibiarkan. Ini pemerintah melakukan pelanggaran HAM, kita tidak bicara yudisial, tidak bicara pengadilan, kita bicara kepedulian yang adil dan bermartabat bagi rakyat Indonesia,” tutupnya.
Sumber ; https://www.hukumonline.com/berita