
KUHP Nasional Ubah Paradigma Hukum Pidana Fokus ke Pemulihan Sosial
Salah satu perubahan signifikan dalam undang-undang ini adalah adanya penekanan terhadap keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Prinsip-prinsip ini akan membawa perubahan besar dalam sistem hukum pidana Indonesia.
30 Januari 2025

Hukum Pidana Indonesia kini memasuki era baru, di mana pendekatan terhadap kejahatan dan pelakunya tidak lagi hanya berfokus pada hukuman berat. Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, menekankan visi utama dari KUHP Nasional adalah untuk mengubah paradigma hukum pidana yang sebelumnya berorientasi pada pembalasan dan hukuman yang berat, menjadi hukum pidana yang lebih berfokus pada pemulihan, perbaikan, dan reintegrasi sosial.
Pria yang akrab disapa Eddy ini menjelaskan bahwa masyarakat, termasuk dirinya, sering kali masih terpengaruh oleh paradigma lama yang cenderung menghukum pelaku kejahatan dengan seberat-beratnya.
“Saya pribadi pun kalau lihat ada pelaku kejahatan ditangkap, pasti yang ada di dalam benak itu dia bisa dihukum seberat-beratnya, apalagi kalau kita korban. Itu paradigma yang kuno, paradigma zaman Hammurabi,” ujarnya dalam Webinar Sosialisasi UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kamis (30/1).
Baca juga:
Namun, dengan diterapkannya prinsip-prinsip baru dalam hukum pidana, Indonesia berusaha menggantikan paradigma lama dengan KUHP Nasional. Salah satu perubahan signifikan dalam undang-undang ini adalah adanya penekanan terhadap keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Menurutnya, prinsip-prinsip ini akan membawa perubahan besar dalam sistem hukum pidana Indonesia.
“Dengan paradigma hukum pidana yang baru ini, kita tidak lagi hanya melihat hukum pidana sebagai alat balas dendam,” ucapnya.
Eddy menjelaskan bahwa prinsip pertama, keadilan korektif, bertujuan untuk mengoreksi perilaku pelaku kejahatan melalui sanksi yang tidak selalu berupa hukuman pidana berat. Selain hukuman penjara, sanksi administratif juga bisa diberlakukan sesuai dengan konteks pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku.
“Hukum pidana modern tidak lagi memandang sanksi sebagai hukuman semata, tetapi sebagai sarana untuk memperbaiki perilaku pelaku kejahatan,” tegasnya.
Visi kedua yang diperkenalkan dalam sistem hukum pidana yang baru ini adalah keadilan restoratif. Eddy mengungkapkan prinsip ini berfokus pada pemulihan bagi korban, bukan hanya pada penghukuman pelaku. Ini merupakan kritik terhadap hukum pidana konvensional yang seringkali hanya fokus pada pelaku tanpa memperhatikan dampak sosial yang ditimbulkan pada korban.
Konsep restorative justice atau keadilan restoratif ini pertama kali diperkenalkan oleh Albert Eklas pada tahun 1977. Keadilan restoratif bertujuan untuk mengembalikan keadaan korban ke posisi semula dan memperbaiki hubungan yang rusak dalam masyarakat akibat tindak pidana.
“Keadilan restoratif bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi untuk memperbaiki kerusakan sosial yang terjadi akibat tindak pidana,” lanjutnya.
Prinsip ketiga, keadilan rehabilitatif, berfokus pada perbaikan baik bagi pelaku maupun korban. Pelaku tidak hanya dikoreksi dan dihukum, tetapi juga diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Begitu juga dengan korban, mereka tidak hanya dipulihkan, tetapi juga diberikan dukungan psikologis dan sosial untuk dapat kembali ke masyarakat dengan lebih baik.
Menurut Eddy, meskipun perubahan besar ini akan membutuhkan waktu untuk dipahami dan diterima oleh masyarakat, sistem hukum pidana yang baru akan membawa Indonesia menuju keadilan yang lebih berkelanjutan dan komprehensif. Dengan prinsip keadilan yang lebih berfokus pada pemulihan, perbaikan, dan reintegrasi sosial, hukum pidana Indonesia tidak hanya berfungsi untuk menghukum, tetapi juga untuk memperbaiki dan memulihkan keadaan.
“Ini adalah perubahan besar dalam cara kita memandang hukum pidana. Ke depan, sistem hukum Indonesia diharapkan akan lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih berfokus pada keadilan yang melibatkan semua pihak, baik pelaku maupun korban,” kata Eddy.
Dengan diterapkannya paradigma hukum pidana yang baru ini, diharapkan masyarakat Indonesia bisa lebih memahami dan menerima perubahan ini, serta melihat hukum tidak hanya sebagai alat untuk menghukum, tetapi juga sebagai sarana untuk memperbaiki dan memulihkan.
Terhitung bulan, kini untuk KUHP Nasional akan berlaku setelah hampir dua tahun sejak diundangkannya pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Dengan dua buku yang mencakup total 624 pasal, buku pertama memuat 187 pasal yang berfokus pada prinsip-prinsip dasar hukum pidana, sedangkan buku kedua berisi 437 pasal yang mengatur tindak pidana serta sanksi-sanksi yang terkait.
Meskipun undang-undang ini telah disahkan, kata dia, pemberlakuannya akan ditunda selama tiga tahun setelah disahkan. Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat mempersiapkan dua hal penting, seperti untuk menyusun peraturan pelaksanaan yang diperlukan, serta untuk melakukan sosialisasi secara masif kepada masyarakat mengenai perubahan besar ini.
“Pemberlakuan undang-undang ini akan ditunda selama tiga tahun agar kita bisa mempersiapkan semua peraturan pelaksanaannya dengan matang. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat sangat penting mengingat perubahan paradigma dalam hukum pidana ini. Kita perlu memastikan bahwa masyarakat memahami dan menerima prinsip-prinsip baru dalam hukum pidana,” pungkasnya.
SUMBER : https://www.hukumonline.com